"Mas...mas Fery," panggil adik iparku dari balik pintu rumah yang menghubungkan dengan toko.
Aku yang pagi itu sedang mempersiapkan komputer dan merapikan apotek terpaksa menghentikan pekerjaanku.
"Iya ada apa Rin?" sahutku menuju arah suara.
Aku kaget tapi sekaligus juga girang melihat dia berdiri dengan balutan handuk ditubuhnya. Rambut lurus sebahunya tampak masih basah dan menetes bekas terkena guyuran air.
"Mas tolong dong liatin shower kamar mandi tiba-tiba mati sendiri pas Rini keramas."
"Wah..kamu ini pagi-pagi udah bikin orang konak aja Rin," kataku mendekat dan memeluk tubuhnya.
Kucium bibirnya yang dingin sembil membelai pangkal pahanya yang ditumbuhi jembvt yang merata. Kubuka juga handuknya lalu kusampirkan pada handle pintu didekatku. Rini tak menolak ketika kutelanjangi seperti itu karena untuk hal demikian sudah terbiasa baginya dan beberapa kali pula kami melakukan hubungan intim jika istriku sedang kerja atau tidak di rumah. Tubuhnya yang bugil terhampar di depanku. Mulus dan menggairahkan sekali. Kedua payudaranya yang mancung dan padat menonjol dengan indahnya. Ukuran 32 cup B.
"Mas nakal ah, ntar diliat orang kan Rini yang malu," tolaknya pura-pura jaim.
"Tenang aja Rin di rumah ini kan cuma ada kita berdua. Kamu telanjang gini juga yang liat cuma mas doang," jawabku kembali memeluk tubuhnya.
Kukenyot puting kecilnya sambil kubelai belahan kemalvannya sampai kusentuh biji klitorisnya.
"Mas jangan di sini ah Rini nggak enak lagian masih ada bekas sabunnya tuh. Di kamar mandi aja, sekalian tengokin showernya Rini juga belum sempat bilas nih," katanya menarik pelan tubuhnya.
"Ya udah tapi nanti kamu bantu puasin mas ya, soalnya tadi nanggung sama mbakmu."
"Iya nanti Rini bantuin, buruan dong mas Rini kedinginan nih."
Akhirnya aku mengalah dan kurangkul dia menuju kamar mandi sambil kututup handuk pundaknya tapi bagian pusar ke bawah masih tetap terbuka. Di rumahku Rini memang sudah terbiasa mandi paling belakangan. Yang kutahu kebiasaan dia setelah bangun tidur yaitu cuci muka, gosok gigi lalu membantu istriku di dapur sampai semua pekerjaan rumah selesai barulah dia pergi mandi. Apa lagi istriku jam delapan harus sudah masuk kerja kadang masih menyisakan pekerjaan rumah yang belum sempat dia tuntaskan. Maklum sejak menikah kami belum pernah menggunakan tenaga pembantu jadi semua punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Itu sebabnya aku tak menyalahkan dia kalau jam segini baru mandi. Sebenarnya kalau dia mau bisa saja mandi di kamar mandi dalam yang ada di kamar tidurku tapi tampaknya Rini lebih menyukai kamar mandinya sendiri yang ada di luar ruangan. Hanya memang kamar mandi luar yang dia pakai tidak ada bak mandinya cuma ada shower water heater, wastafel dan kloset duduk saja sedang kamar mandiku ada tambahan bath tube serta shower boxnya.
Rini sendiri usianya baru 24 tahun, empat tahun lebih muda dari istriku, Rani. Wajahnya manis-manis cantik. Yang kusuka dari dia adalah kecantikannya yang alami. Posturnya pun proporsional tidak gemuk tapi juga tidak kurus ditunjang kulitnya yang bersih. Boleh dibilang semasa kuliah dulu dia termasuk bunga kampus di Fakultasnya. Dia lulusan terbaik di angkatannya dengan predikat summa cumlaude. Aku sendiri sudah resign dari perkerjaanku sebagai Auditor Bank BUMN dan mulai ganti haluan dengan berwira usaha sedang istriku berprofesi sebagai dokter umum di sebuah Puskesmas sehingga untuk kebutuhan rutin rumah tangga kami sedikit terbantu olehnya sebab yang namanya wiraswasta perilaku cash flownya tentu beda dengan saat aku masih jadi karyawan BUMN yang setiap bulan menerima gaji. Apa lagi apotekku belum ada setahun. Dari segi pemasukan jelas tidak bisa diharapkan alias tak menentu. Kadang sedikit kadang banyak. Itu sebabnya Rini kuminta meng-handle sebagai apoteker pengelola apotek milikku begitu dia lulus. Pertimbanganku kalau aku merekrut orang luar tentu beban cost untuk salarynya akan sangat tinggi bahkan untuk menekan biaya operasional saja aku tak sungkan merangkap jadi karyawan sekaligus pemiliknya. Ya kebersihan, delivery obat, pemasaran, stok opname (dibantu Rini), kadang pramuniaga (membantu Rini jika apotek sedang ramai), administrasi dan keuangan juga. Lengkap sudah. Beruntung istri serta mertuaku langsung menyetujui gagasanku. Rini pun tampak senang dengan profesinya kini karena selain dapat mengaplikasikan ilmunya dia dapat menjadi teman istriku yang kesepian karena belum ada momongan. Tentu saja untuk itu dia kugaji. Sebenarnya secara medis aku dan Rani tidak ada masalah yang mendasar. Dokter kandungan bilang kemungkinan karena faktor stress dan kelelahan saja sehingga kualitas spremaku lemah. Itulah sebabnya kenapa aku memutuskan untuk resign tak lain agar demi segera mendapatkan momongan. Mengenai kedekatanku dengan Rini istriku sendiri tak melihatnya hal itu sebagai ancaman karena dia lebih banyak menilai dari sisi positifnya saja justru dia malah senang kami bisa akrab, bercanda, saling ledek dan lain sebagainya.
Walau secara hubungan kekeluargaan dia adik iparku tapi secara garis keturunan sejatinya Rini adalah adik tiri istriku. Sejak bayi Rini sudah diadopsi oleh mertuaku. Hal yang mendasari karena ibu mertuaku divonis tidak boleh mengandung lagi demi kesehatannya sendiri. Hubunganku dengan Rini pada awalnya juga biasa-biasa saja dari ngobrol soal pekerjaan, bercanda, saling ejek lama-lama bergeser membahas hal-hal yang nyerempet soal seks sampai akhirnya berlanjut ke hubungan intim. Perlu digaris bawahi bahwa hubungan badan yang kami lakukan sejauh ini hanyalah sebatas petting (menggesek-gesekkan kemalvan) dan licking (menciumi kemalvannya) saja, artinya tak sampai pada tahap penetrasi yang dapat merobek keparawanannya sebab aku sendiri juga tak ingin merobek masa depan dia. Alasan itu lah yang membuat Rini tak pernah menolak untuk melayani hasratku jika kubutuhkan. Jujur untuk sampai ke tahap itu pada awalnya bukanlah perkara yang mudah karena Rini sendiri pribadinya tertutup dan orangnya pemalu serta pendiam. Tapi sejak ikut denganku dia mulai tampak berubah ceria dan ramah, bahkan merespon jika kugoda. Disitulah awal aku bisa merayu dan mengeksploitasi tubuh moleknya. Bahkan kini dia sudah tak malu lagi terang-terangan minta kupuaskan jika sedang horny.
"Coba sekarang kamu hidupkan tuas water heaternya Rin."
Air pun mengucur lalu kubasuh tubuh Rini yang kedinginan dengan air hangat.
"Kamu nafsuin banget kalau lagi telanjang gini Rin, mirip artis bokep," candaku.
Rini mencibir.
"Lebay ah mas Fery kayak nggak pernah liat wanita telanjang aja," kilahnya.
"Beneran kok, kamu sexy banget deh sayang. Susumu, jembvtmu apa lagi mem3kmu yang cantik," kecupku di pipinya.
Aku memang paling betah berlama-lama di bagian itu jika sedang merangsang kemalvan Rini karena selain bentuknya yang cantik juga tak berbau. Rini dan istriku sama-sama menggunakan sabun antiseptic khusus untuk vagina sehingga aroma kewanitaannya tak begitu menyengat saat kuoral.
"Emang punya mba Rani nggak sexy ya mas?"
"Sexy sih, sama-sama menggairahkan cuma beda dikit. Susumu biar nggak sebesar punya mbakmu tapi kenyal. Putingnya kecil dan pendek. Jembvtmu juga lebih tipis tapi rata ke bawah."
"Ihh apaan sih mas Fery malah jadi bahas anatomi. Mau Rini bantuin nggak, keburu siang nih buka apoteknya?"
Rini mengoral batangku dengan penuh semangat. Dia kerahkan seluruh potensi mulutnya untuk mengeksplorasi kejantananku. Nyaris tak ada yang terlewat olehnya. Dari lubang kencing sampai kantung zakarku dioralnya. Memang sejak mulai mengenal dunia seks Rini sudah banyak mengalami kemajuan. Itu pun karena kuajari setahap demi setahap termasuk juga nonton koleksi video bokep yang ada di laptopku. Padahal awalnya dia gadis yang lugu dan polos dalam hal bercinta. Maklum dia belum pernah berpacaran apa lagi di Fakultasnya mayoritas dihuni kaum Hawa.
"Terus Rin pintar kamu. Hisap yang dalam sayang."
Akhirnya dioral Rini ejakulasi juga batangku. Mungkin karena tadi pagi saat 'tempur' dengan istriku tak sampai ejakulasi sehingga cepat mencapai klimaksnya saat dioral Rini.
"Mas mau keluar Rinn..."
Cret..cret..cret.
"Emmh!"
Rini memekik pelan begitu menerima semburan maniku tapi hebatnya dia masih saja mengoral batangku. Dia minum spermaku sampai habis. Mulutnya kulihat sampai belepotan saking banyaknya mani yang kutumpahkan.
"Mmh..asin banget rasanya. Nggak seperti biasanya," celetuk Rini sedikit terengah-engah.
"Efek nanggung Rin. Kelamaan ngendap ya gitu."
"Sekarang gantian Rini ya mas," pintanya sambil berdiri.
Aku menempatkan tubuhku duduk di atas tutup kloset duduk. Tanpa kupandu dia naik ke atas pangkuanku lalu menindih penisku dengan vaginanya. Sambil memagut bibirku pantat Rini bergerak maju-mundur menggesek-gesek biji klitorisnya dengan batangku. Tanganku pun tak mau kalah meremas-remas susunya yang kenyal. Biasanya kalau sedang tidak malas aku yang menggesek-gesekkan penisku ke mem3knya entah sambil berdiri atau tiduran atau duduk di sofa seperti ini atau juga mengoral kemalvannya sampai dia orgasme.
"Mas..punya mas Fery Rini masukin ya," bisiknya di telingaku selesai mencumbu bibir dan menciumi leherku.
"Jangan Rin, gila kamu aku kan udah bilang nggak mau merusak masa depanmu."
"Dikit aja mas, habis Rini penasaran banget masa dari pertama gini-gini aja?"
"Udah teruskan aja gerakanmu jangan aneh-aneh yang penting kamu orgasme."
"Iya tapi Rini jadi berasa nanggung mas. Dikit aja kok mas nggak sampai semuanya, kan Rini yang kontrol jadi nggak sampai kena selaputnya. Ya yank...please cintaku," rajuknya setengah merayu.
Rini makin ganas menciumi tubuhku. Kurasakan batangku sudah mulai ereksi lagi berkat kerja kerasnya yang pantang menyerah. Apa lagi saat dia mengerjai penisku terasa cairan licin dan kental dari vaginanya terus mengalir membasahi batangku. Semakin membakar gairah kejantananku saja. Tiba-tiba tangan Rini menggenggam batangku dan dia tempelkan ke bibir mem3knya.
"Rin, jangan Rin mas belum siap sayang. Mas nggak..."
Rini membungkam bibirku dengan ciumannya. Aku benar-benar tidak menduga dengan tindakannya kali ini. Kunilai Rini sudah diluar kendali alias nekad, usahaku untuk mencegah tindakannya pun sudah tak digubrisnya lagi.
"Ohhh..." desahnya merasakan sensasi kenikmatan begitu ujung penisku bersarang di kemalvannya.
Batang kejantantanku yang dia pegang langsung ditusuk-tusukkan ke liang senggamanya.
"Rin udah Rin hentikan sayang nanti kamu keterusan," cegahku mengingatkan sambil menahan kedua pinggulnya agar tak bablas menindih tubuhku.
"Udah mas diam aja biar Rini yang kerja."
"Ah...gila kamu ini Rin."
"Hsshh...ahh. Enak mas. Ohhh...nikmat banget ini."
Rini terus menusuk-nusukkan batangku ke mem3knya lebih dalam lagi. Semakin erat kutahan semakin kuat pula dia menekan. Aku yang sudah terbelenggu rasa nikmat sudah tak mampu lagi mengontrol kenekadannya. Rini malah berusaha melepaskan tanganku sambil tetap menekan tubuhnya kuat-kuat. Akhirnya...bles!
"Aarrrgh...mas Feryyy."
"Rini!"
Terlambat. Kepala Rini rebah di atas pundakku sambil menggigit leherku.
Oh Shit! Dia masih terdiam dengan posisinya yang seperti itu tapi gigitannya sudah mulai dia lepaskan. Kuangkat tubuhnya perlahan untuk memeriksa di bagian bawah. Rini terlihat menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit. Pandanganku sejenak tertuju ke alat vital kami. Benar saja, batangku memerah oleh darah perawan dari kemalvan Rini bahkan saat dia mengangkat tubuhnya masih menetes juga darahnya.
"Oh sial. Kenapa mesti begini sih Rin? Bukan ini yang mas mau," sesalku.
Rini malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirku.
"Udah..nggak perlu disesali mas, Rini yang maksa kok. Percayalah Rini nggak akan minta mas untuk bertanggung jawab. Rini ikhlas kok menyerahkannya ke mas Fery. Mas nggak usah risaukan Rini."
Kutatap bola matanya dengan kekecewaanku.
"Ma'afkan mas Rin, mas yang salah. Gara-gara mas Fery kamu jadi keterusan."
"Nggak ada yang harus dima'afkan mas. Udah, mending juga sekarang kita tuntaskan permainan ini keburu siang. Mas juga nanti masih harus anter pesanan obat mbak Rani kan?" katanya memegang pipiku.
Akhirnya Rini kubiarkan saja memasukkan kembali penisku ke vaginanya. Pertama gerakan Rini perlahan saja. Mungkin ini tahap adaptasi baginya. Kulihat bibir kemalvan Rini naik-turun mengikuti gerakan tubuhnya. Indah sekali. Tak berapa lama Rini mulai cepat memacu sampai susunya berguncang hebat kesana-kemari. Entah berapa lama dia seperti itu. Aku cuma merasakan mem3knya semakin hangat dan licin saja bergesekan dengan batang kejantananku sampai Rini kelelahan sendiri, berhenti lalu menggerak-gerakkan pantatnya maju-mundur. Rini kuminta menungging dengan berpegangan pada bak kloset. Kusodok mem3knya dari belakang. Berkali-kali dia nyerocos tanpa sadar bahkan sesekali mengerang penuh nikmat. mem3knya yang semula berwarna pink kini berubah agak kemerahan. Rini juga terlihat sampai mendongak merasakan sensasi yang kuberikan. Wajahnya memerah. Jembvtnya basah terkena lelehan cairan vaginanya. Tiba-tiba tangan Rini menggapai ke belakang seolah memintaku untuk menghentikan ayunanku tapi tak kuhiraukan. Rupanya dia memberi isyarat jika akan mendapatkan puncak kenikmatannya. Tak salah, selang berapa lama dia pun melenguh dan mendesah panjang sambil merapatkan kakinya. Rini orgasme kemalvannya berdenyut beberapa kali memijit batangku yang masih berada di liang senggamanya. Kubiarkan sejenak dia mereguk sisa-sisa nikmat surgawinya sambil merapatkan tubuhku di punggungnya, meremas-remas susunya yang menggantung. Setelah itu terasa ada cairan hangat mengguyur ujung penisku. Rini terkulai lemas. Wajahnya dia sandarkan di atas tutup tangki kloset. Segera saja kutarik tubuhnya lalu kupeluk agar tak limbung.
"Mas, mas belum keluar? Mau Rini oral lagi atau gimana sayang? Kalau mau keluarin di dalam juga nggak papa. Rini lagi nggak subur kok," katanya pelan.
Aku terdiam sejenak. Entah kenapa kali ini persaan kasih sayangku padanya begitu jauh menyentuh ke relung hati. Akhirnya Rini kubopong ke kamarnya dan kami melanjutkan pertempuran sengit pagi itu sampai aku ejakulasi di rahim Rini.
"Mas makasih ya udah bikin Rini jadi keenakan. Kali ini Rini puas banget rasanya. Nanti kalau ada waktu kita terusin ya mas, Rini masih pengin dimasukin lagi. Mas mau kan manjain Rini, puasin Rini, setubuhi Rini seperti ini?" cerocosnya.
Aku yang masih terkulai di atas tubuhnya tak mampu menjawabnya hanya membelai rambut kepala sambil kucium pipinya. Sejak persetubuhan yang sesungguhnya itu aku dan Rini jadi semakin intens melakukan hubungan badan tentu saja jika keadaan memungkinkan. Rini benar-benar jadi ketagihan dengan nikmatnya persetubuhan yang kami lakukan. Maklum saja di usianya yang produktif tingkat libidonya sedang berada dititik puncaknya. Jika dia sudah horny tak pandang tempat, dimana pun jadi. Di ruang kerja Rini, di kamarnya, di kamar mandi, di kamarku. Pendeknya sudah tak terbilang lagi berapa kali lubang mem3knya kumasuki, tak terhitung pula berapa kali rahimnya menerima semburan spermaku. Sejauh ini kami melakukan seks aman dengannya sehingga spermaku tak sampai membuahi rahimnya. Kabar baiknya lagi Rini sekarang jadi jarang memakai cd dan bra jika sedang berdua denganku. Tapi berkah dari hubungan itu malah istriku yang mulai menunjukkan gejala kehamilan. Sekarang tiap pagi Rani mengalami morning sick alias mual-mual di pagi hari. Ternyata dia sudah telat mens beberapa minggu. Tentu saja aku senang bukan kepalang saat dia menunjukkan hasil test urinenya yang menunjukkan indikator positif. Rini juga malah menyarankan kakaknya agar melakukan tes ulang sehingga hasilnya lebih akurat dan kenyataannya Rani memang hamil. Tapi disaat usia kehamilannya itu gairah istriku malah semakin menjadi-jadi. Aku jadi sering lembur dan kesiangan, nyaris mengurangi jatah spermaku ke Rini. Untunglah dia dapat memahami namanya juga affair tentu saja harus pandai melihat situasi dan kondisinya. Kadang untuk itu aku mengajaknya keluar dengan alasan meloby untuk kerjasama dengan pihak eksternal tapi sebenarnya chek-in di hotel untuk melepas hasrat kami. Dua tahun kami jalani hubungan gelap ini dengannya sampai akhirnya Rini dipertemukan dengan seorang dokter duda tampan teman istriku. Tentu saja dokter Fandy kenal dengan istriku karena mereka tergabung dalam satu wadah organisasi Dokter Indonesia. Perkenalannya dengan Rini pun secara tak sengaja. Saat itu dia mampir ke apotekku untuk mengambil anti biotik dan obat psikotropika untuk tempat prakteknya. Berawal dari pertemuan itu lah dia semakin intens melakukan pendekatan sampai akhirnya menikahi Rini.
-- End --
*) Gambar hanya pemanis ..
0 comments:
Posting Komentar